Friday, July 23, 2010

Model Pendidikan Indonesia VS Amerika


Bertolak dari cerita dan opini seorang Rhenald Kasali (Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi UI) tentang model pendidikan Indonesia dibandingkan dengan Amerika dalam mencetak lulusan yang berkualitas dan berprestasi, memang benar adanya - Sumber : Mailist ITB.
Sebelumnya beliau bercerita tentang pengalamannya lima belas tahun lalu saat anaknya masih studi di Amerika dan mendapatkan nilai E (Excellent – Sempurna) untuk sebuah karangan berbahasa Inggris. Padahal jelas sekali bahwa kemampuan verbal anaknya dalam mengolah kata-kata berbahasa Inggris masih jauh dari sempurna. Hal ini membuat seorang Rhenald Kasali menjadi gusar dengan kualitas pendidikan di tempat anaknya melakukan studi, betapa tidak, seorang yang memiliki kemampuan verbal terbatas bahkan bisa mendapatkan nilai yang sungguh sempurna. Bagaimana hal ini bisa terjadi..? Apakah hal ini tidak justru membuat anaknya cepat berpuas diri..?
Menyikapi hal ini, beliau melakukan protes terhadap guru di tempat anaknya melakukan studi. Tapi jawaban yang diberikan cukup membuat seorang Rhenald Kasali menyadari bahwa model pendidikan yang diterapkan di tempat itu sungguh berbeda dengan Indonesia. Guru yang menerima beliau mengatakan bahwa nilai tersebut wajar di terima. Logikanya sederhana, anak tersebut berasal dari Indonesia dan memiliki bahasa ibu (Mother Tongue) Indonesia. Untuk anak seumuran dia sudah bisa membuat karangan berbahasa Inggris seperti itu, gurunya menjamin itu adalah sebuah karya yang hebat. 
Rupa-rupanya filosofi pendidikan di negara tersebut bukanlah menghukum, melainkan merangsang orang untuk maju (Encouragement). Sedang di Indonesia ini kadang kala sebuah nilai B (Baik) pun sangat susah untuk di raih meski seorang siswa sudah berusaha dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Bahkan kadang kala sebuah nilai C (Cukup – hanya syarat lulus) pun diberikan bukan karena cara pandang yang obyektif melainkan lebih cenderung ke arah bantuan – belas kasihan terhadap anak didiknya.
 


Fenomena seperti ini memang kerap terjadi dalam pendidikan di Indonesia. Seorang siswa/mahasiswa kadang kala mengeluh tentang susahnya untuk mendapat nilai baik atau bahkan sekedar lulus dari sebuah mata kuliah/pelajaran. Sering juga kita lihat berita-berita di media massa  tentang sikap guru Sekolah Dasar yang kerap menghukum anak didiknya dengan cara yang “kurang pantas” hanya karena kesalahan yang relatif sepele dilakukan anak didiknya. Tidak hanya di tingkat dasar dan menengah kasus-kasus seperti ini kerap terjadi, di perguruan tinggi pun sebenarnya hal ini juga terjadi. Hanya saja tidak terekspos ke media massa dan kapasitas hukumannya pun relatif tidak seberat tingkat dasar dan menengah. Tidak jarang terjadi bahwa seorang mahasiswa harus mengulang satu mata kuliah yang sama untuk beberapa kali karena centimen pribadi oleh dosennya. 


Well well well.. Kalau begini terus, kapan pendidikan di Indonesia dapat mencetak lulusan yang berkualitas dan berprestasi. Sedangkan apa yang telah di lakukan oleh mereka yang ikut “bertanggung jawab” atas lulusan pendidikannya telah memandulkan kreatifitas, inisiatif dan semangat para anak didiknya.
Dalam hemat saya, mungkin yang memegang peranan penting dalam mencetak kualitas lulusan menjadi SDM top bagi bangsa dan negara adalah perguruan tinggi. Karena di perguruan tinggi ini, seorang mahasiswa berdiri sebagai seorang yang independen dan mandiri. Sudah tidak ada lagi campur tangan orang tua untuk mengarahkan anaknya. Semua murni interaksi antara mahasiswa – manajemen kampus (dosen, staff). Di level inilah kualitas mental dan inisiatif benar-benar diasah. Apakah seorang lulusan menjadi seorang yang proaktif, seorang yang minder, seorang yang aktif, seorang yang sensitif dan apatis atau seorang lulusan yang ala kadarnya..?
Sebuah paradigma yang salah menurut saya telah terjadi di banyak perguruan tinggi di negeri ini. Para pengajar berpikir bahwa model pendidikan yang disiplin, wajib aktif dan tegas akan menghasilkan lulusan berkualitas dan proaktif. Tidak selalu begitu menurut saya. Disiplin, tegas dan wajib aktif itu tidak memiliki batasan yang tetap, semua relatif dan harusnya bisa menjadi fleksibel.

Encouragement dan Discouragement
, mungkin memang dua kata itu yang tepat untuk dipakai dalam bahasan tentang pendidikan ini. Encouragement (dorongan), dapat merangsang seorang anak didik untuk mau mulai menghargai sebuah almamater, dari situlah kemudian akan timbul kesadaran untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan diri. Kenapa ? Karena dengan menghargai almamater, maka akan menghargai predikat yang akan melekat pada diri sendiri. Bayangkan jika anda menjadi seorang mahasiswa di perguruan tinggi terdepan tetapi anda tidak mencerminkan bahwa anda adalah mahasiswa perguruan itu. Anda adalah mahasiswa teknik ITB, apakah anda tidak malu jika anda ditanya tentang rumus phytagoras tetapi anda tidak bisa menjawab..? 
Apa kata dunia..?  Jika anda tidak menghargai almamater, maka anda tidak akan peduli bagaimana sebuah kampus ITB di cap buruk di mata masyarakat karena mahasiswa nya tidak bisa menjawab hal yang bahkan anak SMP pun tahu.
Kesadaran untuk mengembangkan ilmu secara mandiri dan meluas timbul dari pribadi mahasiswa, dan ini adalah tanggung jawab pihak kampus juga.
Penghargaan mahasiswa terhadap almamater berbanding lurus dengan penghargaan pihak kampus terhadap mahasiswa. Apabila seorang mahasiswa tidak merasa jerih payahnya di hargai oleh pihak kampus maka peluang besar mahasiswa tersebut juga akan mengurangi penghargaannya terhadap almamaternya.


Banyak perguruan tinggi yang sedang berkembang mengejar kualitas dengan cara yang salah. Mereka mewajibkan mahasiswanya untuk aktif tanpa mau tahu apa yang terjadi dengan mahasiswa nya. Mereka memiliki paradigma bahwa disiplin, wajib aktif dan tegas akan mencetak kualitas yang memadai. Tetapi mereka justru tidak mendapat kualitas itu secepat apa yang mereka inginkan. Kenapa ? Karena kampus kurang bertindak proaktif terhadap mahasiswanya. Kampus masih berpikir bahwa mahasiswalah yang membutuhkan kampus/pendidikan. Sedang kampus tidak terlalu membutuhkan mahasiswa kecuali karena harus menjaga eksistensinya.
Wooooww.. Kampus telah melupakan tujuan awal berdirinya. Akhirnya terjadilah komersialisasi pendidikan di perguruan tinggi. Tapi mereka tidak mau mengakui hal itu. Dalam visi misi mereka tetap menuliskan tentang intansi mereka yang “memproduksi” lulusan yang terbaik. Tetapi apa yang mereka lakukan tidak sejalan dengan visi misi mereka.
Bentrok kepentingan dan memandang sebelah mata pada mahasiswanya akhirnya menjadi hambatan dari perolehan kualitas. Nah jika hal ini terjadi maka bukan Encouragement yang terjadi melainkan Discouragement atau keputusasaan, patah semangat dan antipati dari seorang anak didik terhadap almamaternya. 
Dan parahnya, kalau ini terjadi bahkan pihak kampus pun tidak merasa bersalah sama sekali.. Mereka tetap merasa diri BENAR... Wuiiiihhh.. Hebaaat.. 

Pertanyaan yang seharusnya bisa dijawab oleh pihak kampus adalah “ Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut ? “
Ingat !! Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya dapat tumbuh.
Kita mungkin dengan disiplin dan aktif dalam perkuliahan akan mendapatkan nilai A (Sempurna) untuk mata kuliah yang bersangkutan. Tapi pengembangan ilmu itu belum tentu di kuasai oleh seorang mahasiswa yang tidak memiliki inisiatif dan semangat. Tetapi seorang mahasiswa yang mendapat nilai D atau E juga belum tentu tidak bisa apa apa dalam mata kuliah yang bersangkutan. Bisa jadi dalam pengembangan ilmu dia lebih mampu, hanya saja karena kekurang aktifan dia dalam menghadiri kelas dan bentrok kepentingan karena banyak hal yang harus di kerjakan pada saat ujian membuat anak didik tersebut mendapat nilai D atau E. Hal inilah yang patut di koreksi ulang oleh pihak kampus. Sudah saatnya merubah model pendidikan perguruan tinggi menjadi lebih fleksibel dan obyektif. 


1 comment :