Wednesday, November 3, 2010

Merajut Kata.. Menjembatani Jalan Pemikiran..


Kadang kala aku punya banyak ide untuk sekedar di tuangkan menjadi tulisan. Tapi seringkali juga aku mengalami permasalahan yang sama. Masalahnya adalah apa yang harus aku tuliskan untuk mengawali menulis ide ku itu. Hahahaha..  masalah yang aneh. Tapi itu nyata loh. Kadang aku mencoba merangkai sebuah kalimat sederhana untuk awalan sebuah tulisan. Tapi kadang kala aku juga menyangkalnya sendiri sebagai kalimat yang tidak pas untuk sebuah kalimat awalan. Apa mungkin aku berpikir bahwa sebuah kalimat awalan yang pas itu seperti halnya kisah dongeng klasik, “Pada suatu hari, di sebuah desa terpencil. Hiduplah seorang… bla bla bla..” ? :))
Ya.. Bagiku idealnya memang seperti itu, sebuah awalan adalah sebuah titik di mana semua rangkaian akan bertolak dari titik itu. Intinya dia adalah titik terendah, sebagai jembatan yang baik untuk menuju ke titik puncak sebelum akhirnya menuju titik rendah keduanya. Tapi ternyata hal itu tidak mudah. Ternyata aku tidak bisa menemukan titik itu. Bahkan titik itu tidak dapat dijelaskan secara nyata. Titik itu abstrak dan tidak bisa di tetapkan harganya. Jadi akhirnya aku mengerti, bahwa kejanggalan sebuah awalan kadang kala menjadi sugesti pribadi. Sebuah awalan adalah sebuah titik random yang kita inginkan. Terserah di manapun kita menempatkan titik random itu. Dan mulailah bertolak dari titik itu secara konsisten dan berkesinambungan.
Tapi masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Aku selalu mencoba untuk menulis dan menulis, meski akhirnya aku menghentikan tulisanku setelah sekian lama terangkai beberapa halaman. Entah kenapa, kadang aku merasa tidak puas dengan tulisanku sendiri. Banyak alasannya, mulai dari bahasan yang kurang menarik, garing, terlalu lebay, hingga tidak tahu alur proses serta tujuan akhir sebagai akibat dari kehilangan rangkaian ide.


Renungan tentang masalah ini menyadarkan aku dan kembali mengingatkanku kepada pelajaran waktu masih di bangku sekolah dulu. Guru kita sering meminta kita membuat sebuah karangan, yang tidak hanya sekedar menulis begitu saja. Melainkan dimulai dari membuat kerangka karangan, mempelajari alur, dan setting cerita. Ternyata itu sangat sangatlah berguna bagi seorang penulis. Tidak hanya penulis novel atau cerita fiksi. Bahkan penulis bahasan untuk artikel pun sebaiknya menggunakan pedoman itu untuk bisa membuat sebuah artikel yang terstruktur dan mudah di pahami maksudnya. Bahkan dalam hidup sehari haripun kita membutuhkan sebuah kerangka karangan bagi masa depan (hari ini, esok dan selanjutnya).
Kadang kala aku memiliki ide yang cukup kuat dan keras sebagai sebuah opini pribadi atau bahkan kritik terhadap sesuatu yang aku rasa tidak semestinya terjadi. Entah itu tentang politik, budaya, sosial atau bahkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan. Tapi untuk hal yang ini aku kerap kali mengurungkan niat bahkan publikasi hasil tulisan karena aku memiliki kekhawatiran yang berlebihan dan kadang juga naif.
Aku kadang kala tidak ingin berbeda pendapat, aku ingin apa yang aku opinikan dapat di terima oleh khalayak. Meski aku tahu itu tidak mungkin terjadi, karena pikiran manusia pastilah berbeda beda. Dan saat opini ku di sanggah, aku mungkin akan merasa tertekan atau menyesal telah mengungkapkannya. Aku sadari itu buruk bagiku. Aku harus lebih bisa menjadi batu. Lama kelamaan aku sadar akan resiko itu. Sanggahan, counterattack, pengasingan bahkan sinisme pribadi sudah menjadi hal yang sewajarnya dan harus dimaklumi. Itu aku sadari sebagai resiko seorang penulis.
Tapi masalah berikutnya yang aku pikirkan adalah kebebasan berpendapat secara hukum. Memang saat ini  adalah jaman reformasi. Demokrasi seolah dijunjung tinggi dalam ranah hukum negara ini. Kebebasan berpendapat dan berbicara seakan menjadi bagian yang seolah setiap orang mampu membelinya. Tapi apa benar begitu..? Sejauh ini aku masih ragu akan hal itu. Beberapa kejadian menguatkan pikiranku akan hal itu. Kasus Prita adalah salah satu icon kebebasan berpendapat secara fakta yang menurutku cukup berhasil di kriminalisasi oknum tertentu karena ketidaktahanannya terhadap kritik. Untungnya dukungan terhadap seorang Prita cukup kuat dan kriminalisasi itupun tidak berjalan semulus yang di harapkan si penggugat.
Jalan pikiranku untuk memecahkan masalah yang ini memang cukup luas relevansinya dengan kehidupan di Indonesia akhir akhir ini. Terlalu panjang untuk dijabarkan di sini. Intinya adalah masyarakat Indonesia sudah cukup pandai memahami kondisi yang berkembang di sekitarnya. Mulai dari pusat hingga ke level paling rendah dalam birokrasi pemerintahan. Masyarakat Indonesia sudah mulai tahu mana yang benar-benar tulus dan yang oportunis. Meski tetap saja dalam masyarakat pun timbul pro dan kontra, antara pendukung dan penentang sebuah kebijakan atau bahkan person.
Jadi, ketakutan akan gugatan gugatan yang mungkin akan di lancarkan lewat jalur hitam pun, seharusnya tidak lagi menjadi momok bagi sebuah tulisan tentang opini pribadi atau kritik terhadap suatu kebijakan, lembaga bahkan person. Hanya saja kita mesti tetep berhati hati dan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Karena bagiku hanya itu satu satunya shield bagi penulis dalam vulgarnya hasil karya tulisannya. Asas praduga tak bersalah untuk yang di kritik dan juga usaha untuk mencari perlindungan dalam asas praduga tak bersalah bagi diri sendiri. Pemakaian kata dengan maksud "kemungkinan" dan "kepastian" menjadi salah satu shield utama bagi sebuah karya tulis dan juga kualitas tulisan, yang harus benar-benar diperhatikan.
Saya pribadi berharap, pemikiran pemikiran saya ini menjadi pendorong semangat dan komitmen saya untuk kembali menulis.
Kritik dan saran bahkan sanggahan dalam perbedaan pendapat akan selalu saya tunggu dan harapkan.
Mari kita galakkan program Indonesia Belajar Menulis. Hehehe..

1 comment :